Contoh Makalah Mahasiswa Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana pdf @hukumonlineperdatapidana
Berikut kita lihat sebuah contoh makalah singkat untuk membantu penelitian Anda, khusus nya mahasiswa yang mau memperdalam masalah Kitab Undang Undang hukum pidana dan tahap tahapannya pdf @hukumonlineperdatapidana.
-pengertian hukum acara pidana pdf
-tujuan hukum acara pidana
-materi hukum acara pidana lengkap pdf
-sumber hukum acara pidana
-dasar hukum acara pidana
-makalah hukum acara pidana
-asas hukum acara pidana
-sejarah hukum acara pidana
MAKALAH
HUKUM ACARA PIDANA
Dosen Pembimbing: Bpk. Agus Setya Budi
Di susun oleh :
M.Alfian Arief ( 12220070)
M.Qoyyum Amirul M (12220172)
Fitria Saccharini Putri ( 12220044)
Dewi masyitoh (12220114)Ahmad Furqon (12220021)
Bidang Studi Pengantar Tata Hukum Indonesia
Hukum Bisnis Syari’ah
Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Maliki Malang
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunia-Nya, karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen matakuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia dengan judul “Hukum Acara Pidana”. Dan agar kita bisa memahami materi yang terdapat pada makalah ini.
Selanjutnya, kami ucapakan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan aktif dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Kami sadar dalam penulisan karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, seperti pepatah mengatakan “Tiada Gading yang tak Retak”. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna perbaikan penulisan karya tulis ilmiah ini di masa yang akan datang.
Malang, 22 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….ii
BAB I……………………………………………………………………………………….………1
PENDAHULUAN………………………………………………………………………….…..…1
1.1 Latar Belakang…………………………………..…………………………………………….1
1.2 Rumusan Masalah………………………..……………………………………………………2
1.3 Tujuan ………….……………………………………………………..……………………….2
BAB II……………………………………………………………………………………………..2
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………..2
2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana………………………..……………………………………2
2.2 Penyelidikan Perkara Pidana………..………………………………………………………..2
2.3 Penuntutan Acara Pidana..…………………………………………………………………….8
2.4 Peradilan Acara Pidana……………………………………………………………………….14
2.5 Pelaksanaan Keputusan Hakim……………………………………………………………..15
BAB III………………………………………………………………………………………..…21
PENUTUP……………………………………………………………………………………….21
3.1 Kesimpulan…………..………………………………………………………………………22
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………….23
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Didalam KUHAP disamping mengatur ketentuan tentang cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang yang terlibat proses pidana. Proses pidana yang dimaksud adalah tahap pemeriksaan tersangka (interogasi) pada tingkat penyidikan.
Pada makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang tahap-tahap pemeriksaan dalam hukum acara pidana untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi pemakalah maupun pendengar lainnya
Rumusan Masalah
Apakah pengertian hukum acara pidana?
Bagaimana penyelidikan perkara pidana?
Bagaimana penuntutan perkara pidana?
Bagaimana peradilan perkara pidana?
Bagaimana pelaksanaan keputusan hakim?
Tujuan Masalah
Mengetahui pengertian hukum acara pidana
Mengetahui penyelidakan perkara pidana
Mengetahui penuntutan perkara pidana
Mengetahui peradilan perkara pidana
Mengetahui pelaksanaa keputusan hakim
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana
Berdasarkan pengertian hukum acara pidana tersebut, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana keseluruhan ketentuan yang terkait dengan penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur penyelesaian suatu perkara pidana yang meliputi proses pelaporan dan pengaduan hungga penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan hingga lahirnya putusan pengadilan dan pelaksanaan suatu putusan pidana terhadap suatu kasus pidana[1].
Menurut pandangan beberapa ahli hukum mengenai hukum acara pidana yaitu :
Menurut Simon
Hukum acara pidana adalah upaya bagaimana Negara dan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk memidana.
Menurut Seminar Nasional pertama tahun 1963
Hukum acara pidana adalah norma hukum bewujud wewenang yang diberikan kepada negara untuk bertindak adil apabila ada prasangka bahwasanya hukum pidana dilanggar.
J. De Bosch Kemper
Hukum acara pidan adalah seluruh asas-asas dan ketentuan perundang-undangan yang mengartur Negara untuk bertindak bila terjadi pelanggaran hukum pidana.
2.2 Penyelidikan Perkara Pidana
Pengertian Penyelidikan
Secara umum penyelidikan atau dengan kata lain sering disebut penelitian adala langkah awal atau upaya awal untuk mengidentifikasi benar dan tidaknya suatu peristiwa pidana itu terjadi[2]. Dalam perkara pidana, penyelidikan atau penelitian itu adala langkah-langkah untuk melakukan penelitian berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan untuk memastikan apakah peristiwa pidana itu benar-benar terjadi atau tidak terjadi. Adapun definisi dari Penyelidikan adalah ada didalam ketentuan umum Pasal 1 butir 5 yang menjelaskan bahwa Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiw yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini (KUHAP)[3].
Jenis-Jenis Tindakan dalam Penyelidikan
Untuk mengetahui pada tahap awal, apakah peristiwa itu merupakan peristiwa pidana atau bukan merupakan peristiwa pidana arus terlebih dahulu dilakukan tindakan hukum yang berupa penyelidikan. Penyelidikan dapat dilakukan antara lain dapat berupa tindakan mendengarkan informasi yang beredar di masyarakat atau keterangan-keterangan apa saja yang diucapkan atau disampaikan oleh masyarakat tentang peristiwa yang sedang terjadi dan melakukan pengecekan secara langsung terhadap obyek yang diduga ada hubungannya dengan peristiwa yang sedang terjadi. Dalam penyelidikan, untuk mengidentifikasikan apakah peristiwa tersebut merupakan peristiwa pidana atau bukan peristiwa pidana, antara lain dengan cara sebagai berikut:
Menentukan Siapa Pelapor dan Pengadunya
Untuk menentukan siapa pelapor atau pengadu dalam perkara pidana biasanya relatif tidak mengalami kesulitan, karena pelapor atau pengadu akan dating ke kantor polisi untuk melaporkan atau mengadukan peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana. Pengaduan yang sudah dilakukan merupakan penyebab hukum sudah mulai dapat dioperasionalkan
Menentukan Peristiwa apa yang Dilakukan
Untuk mengidentifikasi apakah peristiwa itu merupakan peristiwa pelanggaran hukum tertentu, perlu dilakukan upaya penyelidikan untuk mengumpulkan keterangan tertentu dari berbagai pihak yang dianggap mengerti karena melihat, mendengarkan dan mengerti secara langsung peristiwa itu. Apabila sudah terkumpul cukup keterangan sebagai alat bukti yang diduga kuat terkait dengan peristiwa hukum itu, kemudian dilakukan upaya mencari landasan ukum yang berupa peraturan perundang-undangan tentang kepidanaan. Apabila peristiwa itu sama dengan kehendak dari peristiwa yang diatur dalam ketentuan pidana, maka proses selanjutnya adalah melakukan tindakan hukum berupa penyidikan. Penyidikan harus dilakukan secara teliti, cermat dan akurat serta penyidik harus mampu mengungkap secara sempurna peristiwa yang diduga sebagai peristiwa pidana tersebut.
Di mana Peristiwa itu Terjadi
Tindak selanjutnya dalam penyelidikan yakni menentukan di mana perkara itu terjadi (locus delicty). Apabila peristiwa yang terjadi seperti kejahatan terhadap jiwa, maka akan mudah menemukannya, sedangkan apabila kejahatan terhadap sifat kebendaan misalnya penipuan, maka agak sedikit perlu kehati-hatian terutama apabila peristiwa tersebut sudah lama terjadi dan baru dilaporkan, pelapor juga ragu-ragu di mana peristiwa itu terjadi, peristiwa ini yang perlu betul-betul didalami, sehingga didapati kepastian tentang loctus delicty-nya.
Kapan Peristiwa itu Terjadi
Ukuran kapan peristiwa itu terjadi adalah bahwa peristiwa hukum itu waktu kejadiannya adalah haruslah masuk akal dan mudah dipahami oleh siapa pun. Unsur ini sangatlah penting dalam proses penegakan hukum, karena peristiwa hukum tanpa diketahui kapan waktu peristiwa itu secara jelas, akan sulit untuk dilaksanakan proses penegakan hukumnya.
Menentukan Siapa Pelaku dan Korban atau Pihak yang Dirugikan
Dalam perkara tertentu seperti kasus penipuan, penggelapan dan pencemaran nama baik, menentukan pelaku tidak banyak mengalami kesulitan karena biasanya antara pelaku dan korban sudah saling kenal. Namun dalam perkara lain, misalnya pencurian atau perampokan, untuk menentukan siapa pelakunya mengalami kesulitan karena rata-rata korban tidak mengenali pelakunya. Selain itu, dalam perkara perkosaan, korban tidak mau mengungkapkan perkara ini karena takut aibnya akan tersebar, kondisi ini yang mempersulit proses penegakan hukum. Adapun dalam peristiwa yang lain, misalnya dalam peristiwa yang diatur dalam undang-undang psikotropika, untuk mengetahui siapa pelakunya perlu dilakukan pendalaman secara sungguh-sungguh terhadap peristiwa yang sesungguhnya terjadi, tidak ada jaminan yang hanya mendasari kepada didapatnya barang bukti itu menyebabkan yang kedapatan adalah tersangkanya. Hal ini perlu disikapi secara hati-hati karena banyak permainan dalam perkara ini dilakukan secara tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, hukum harus diperankan secara baik, agar tidak salah dalam menerapkan stigma negative terhadap seseorang secara sederhana saja.
Bagaimana Peristiwa itu Terjadi
Tugas selanjutnya dalam penyelidikan yakni cari tahu bagaimana peristiwa tersebut terjadi, artinya dengan cara bagaimana pelaku kejahatan itu melakukan aksinya. Tujuan dari mengumpulkan bahan keterangan ini adalah dalam rangka mencari persesuaian antara perbuatan melawan aturan hukum dengan aturan hukum yang ada[4]. Apabila ada kesesuaian dalam perkara ini secara benar, maka hukum harus mulai ditegakkan melalui upaya penyidikan.
Lembaga dan Kewenangan Penyelidik
Dalam pasal 1 angka 4 KUHAP, berbunyi “penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”. Dengan demikian, menurut KUHAP bahwa penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan catatan apabila kejahatan tersebut diatur dalam KUHP, sedangkan untuk ketentuan lain misalnya dalam kasus korupsi tentu akan berlaku aturan tersendiri.
Sedangkan dalam pasal 5 KUHAP diatur kewenangan penyelidik meliputi:
Kewenangan berdasarkan Kewajiban (Hukum)
Menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentng adanya tindak pidana
Kewenangan menerima laporan dan pengaduan informasi awal adanya tindak pidana biasanya berasal dari msyarakat, sehingga dengan dasar inilah penyelidik mengambil tindakan berikutnya sesuai kewenangannya. Jika ada laporan atau pengaduan maka penyelidik wajib untuk menerimanya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyampaikan laporan dan pengaduan yang harus dipenuhi yaitu: jika laporan pengaduan dilakukan secara tertulis maka harus ditandatangani oleh pelapor dan pengadu; jika laporan dan pengaduan diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik; jika pengadu dan pelapor tidak dapat menulis, hal itu harus dicatat dalam laporan atau pengaduan (pasal 103).
Adapun yang membedakan antara laporan dan pengaduan adalah: Laporan dapat disampaikan oleh setiap orang dan merupakan kewajibannya, sementara pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang tertentu saja buka kewajibanny tapi merupakan hak. Dari segi obyeknya, laporan obyeknya adalah setiap delik/tindak pidana yang terjadi tidak ada pengecualiannya, jadi hal ini berkenaan dengan delik biasa. sementara pengaduan, obyeknya terbatas pada delik-delik aduan saja. Dari segi isinya, laporan berisi tentang pemberitahuan tanpa disertai permohonan, sedangkan pengaduan isinya pemberitahuan disertai dengan permohonan untuk segera melakukan tindakan hukum. Dari segi Pencabutan, Laporan tidak dapat dicabut kembali sementara pengaduan dapat dicabut kembali.
Mencari keterangan dan barang bukti
Wewenang Mencari Keterangan dan barang bukti mencari keterangan dan barang bukti ini adalah dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan berupa fakta sebagai landasan hukum guna memulai proses penyidikan. Dalam mencari dan memperoleh barang bukti hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang profesional dan berdasarkan ilmu penyelidikan dan tidak terkesan yang penting untuk mengejar target penyelidikan saja. Adapun yang dimaksud barang bukti adalah barang yang digunakan untuk melakukan atau yang berkaitan dengan tindak pidana. Sedangkan alat bukti disebutkan dalam pasal 184 KUHAP yaitu: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa
Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
Kewenangan ini penting dimiliki oleh penyelidik , karena berkaitan dengan adanya orang yang dicurigai yang mengharuskan penyelidik mengambil tindakan memberhentikan guna melakukan pemeriksaan dan meminta keterangan. Namun dalam hal orang yang dicurigai tidak mengindahkan peringatan penyelidik maka penyelidik pun tidak dapat melakukan upaya paksa yang dibenarkan undang-undang. karena kalau akan melakukan penangkapan harus ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi misalnya adanya surat perintah penangkapan.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Kewenangan ini dalah kewenangan yang kabur dan tidak jelas dalam pasal 5 ayat 1 huruf a angka 4 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik guna kepentingan penyelidikan dengan syarat[5]: tidak bertentangan dengan aturan hukum , selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukanny tindakan jabatan, tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa, menghormati hak asasi manusia.
2. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; pemeriksaan dan penyitaan surat; mengambil sidik jari dan memotret seseorang; membawa dan menghadapkan seseorang pada penyelidik.
D. Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan atau penyidikan merupakan tidakan pertama-tama yang dapat dan harus dilakukan oleh penyelidik atau penyidik jika terjadi atau timbul persangkaan telah terjadi tindak pidana[6]. Apabila ada persangkaan telah dilakukan tindak kejahatan atau pelanggaran maka harus diusakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan tindak pidana dan jika ia siapakah pembuatnya.
Persangkaan atau pengetahuan telah terjadi tindak pidana ini dapat diperoleh dari berbagai sumber yang dapat digolongkan sebagai berikut:
Kedapatan tertangkap tangan (ontdekkeng op heterdaad)
Diluar tertangkap tangan
Adapun yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:
· Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau
· Dengan segera sesudah beberapa saat tindakan pidana itu dilakukan, atau
· Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang
melakukannya,atau
· Apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. (pasal 1 butir 19 KUHAP).
Sedangkan dalam hal tidak tertangkap, pengetahuan penyelidik atau penyidik tentang telah terjadinya tindak pidana dapat diperoleh dari:
a. Laporan
b. Pengaduan
c. Pengetahuan sendiri oleh penyelidik atau penyidik
2.3 Pengertian dan Tujuan Penuntutan
Penuntutan Pidana
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 7 KUHAP).[7] Tujuannya adalah untuk mendapat penetapan adari penuntut umum tentang adanya alasan cukup untuk menuntut seorang terdakwa di muka umum. Wirjono Prodjodikoro juga munyatakan bahwa:
“Menuntut adalah penting dalamhukum acara karena dengan tindakan ini jaksa mengakiri pimpinannya atas pemeriksaan perkara dan menyerahkan pimpinan itu kepada hakim.”
Azas Penuntutan
Azas Legalitas (legaliteitsbeginsel): Yaitu azas yang mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana. Azas ini merupakan penjelmaan dari azas equality before the law.
Azas Oporunitas (opportunitebeginsel): yaitu azas yang memberikan wewenang pada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhaap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana dengan jalan mengesampingkan perkara yang sudah terang pembuktiannya untuk kepentingan umum.
Garis besar dalam penuntutan
Pada pokoknya sebelum melimpahkan berkas perkara ke sidang pengadilan, secara garis besar penuntut umum dalam penuntutan haruslah:
Mempelajari dan meneliti berkas perkara yang diajukan oleh penyidik, apakah telah cukup kuat dan terdapat cukup bukti bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana.
Setelah diperoleh gambaran yang jelas dan pasti tentang adanya tindak pidana dari terdakwa maka berdasarkan hal tersebut penuntut umum membuta surat dakwaan.
Langkah Melakukan penuntutan:
Kelengkapan berkas
Membuat surat dakwaan
Bentuk-bentuk surat dakwaan
Penggabungan berkas perkara (voeging)
pemisahan perkara
. melimpahkan perkara ke pengadilan mengubah surat dakwaan
Kelengkapan berkas
Kelengkapan formal:
Identitas tersangka
Surat izin ketua pengadilan setempat dalam hal dilakukan penggeledahan
Surat izin khusus ketua PN setempat apabila dilakukan pemeriksaan surat
Adanya pengaduan dari orang yang berhak melakukan pengaduan dalam tindak pidana
Pembuatan berita acara pemeriksaan saksi, pemeriksaan tersangka, penangkapan, penggeledahan, dsb.
Kelengkapan material
Yaitu apabila suatu berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan, yakni harus memenuhi alat bukti yang diatur dalam pasal 183 dan 184 KUHAP sehingga dari hal-hal tersebut di atas bisa disusun surat dakwaan seperti yang diisyaratkan dalam pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
Membuat surat dakwaan
Diatur dalam pasal 143 ayat (2) dan (3) KUHAP yang berbunyi:
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani dan serta berisi: a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agam dan pekeraan tersangka; b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (3) surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
Bentuk-bentuk surat dakwaan
Surat dakwaan tunggal
Surat dakwaan kumulatif (bersusun)
Surat dakwan alternatif (pilihan)
Surat dakwaan subsidair (berlapis)
Surat dakwaan kombinasi:
Kumulatif subsidair
Kumulatif alternative
Subsidair kumulatif
Penggabungan berkas perkara (voeging)
Pemisahan Perkara (splitsing)
Melimpahkan perkara ke pengadilan diatur dalam pasal 143 ayat (2), 143 ayat (3) KUHAP. Dalam penjelasan pasal 143 KUHAP yang dimaksud dengan surat pelimpahan perkara adalah surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan bekas perkara.
Mengubah surat dakwaan diatur dalam pasal 144 KUHAP
Perubahan surat dakwaan dilakukan oleh penuntut umum
Waktu perubahan tersebut 7 hari sebelum sidang
Perubahan surat dakwaan hanya satu kali saja
Turunan perubahan surat dakwaan haruslah diberikan kepada tersangka atau penasehat hukum atau penyidik.
Penghentian penuntutan, Alasannya (pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP):
Karena tidak cukup bukti
Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
perkara ditutup demi hukum.
Penghentian penuntutan diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf b, c dan d KUHAP
3 Kewenangan dan Dasar-Dasar Peniadaan Penuntutan
Penuntutan umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang di dakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumannya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (Pasal 237 KUHP).
Penuntut umum, pada dasarnya wajib melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang melakukan tindak pidana di dalam daerah hukumnya kecuali:
a. Apabila kepentingan hokum atau kepentingan umum memang menghendaki adar penuntut umum tidak melimpahkan perkaranya kepengadilan untuk di adili.
b. Apabila terdapat dasar-dasar yang menutup kemungkinan bagi penutup umum untuk melakukan penuntutan terhadap pelakunya (vervolgingsuitsluitingsgronden).
c. Apabila ada dasar yang membuat penuntut umum harus menangguhkan penuntutan.
Yang dapat menentukan dilakukan penuntutan adau tidaknya adalah penuntut umum. Dia akan menentukan penuntutan bergantung pada hasil penyidikan apakah sudah lengkap atau belum untuk dilimpahkan kepengadilan negeri untuk diadili. Hal ini diatur dalam dalam pasal 139 KUHAP.
Perbuatan menutup perkara dan menghentikan penuntutan tersebut diatas dilakukan berdasarkan hokum, maka perbuatan mengesampingkan perkara untuk kepentingan umum dilakukan bukan berdasarkan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan sebelum suatu perkara pidana itu diperiksa oleh pengadilan negri.
Bentuk-bentuk perbuatan sebagaimana yang telah disebutkan dalam KUHAP itu meskipun tidak mendapatkan penjelasan yang rinci, pada prinsipnya merupakan aktifitas yang menghendaki pengecualian untuk tidak meneruskan suatu perkara pidan ke muka sidang pengadilan. Selain bentuk p
Perbuatan-perbuatan tersebut, terdapat bentuk lain yang juga menghendaki pula tidak diteruskan ke pengadilan. Bentuk perbuatan ini seperti telah dikemukakan dimuka, yakni “Penundaan atau penangguhan penuntutan” atau juga dikenal dengan istilah suspension of prosecution.
Jika menutup perkara atau menghentikan penuntutan lebih banyak didasarkan pada alasan yuridis semata, berbeda dengan penangguhan atau penundaan penuntutan. Alasan yang mendasari munculnya gagasan ini adalah lebih banyak didasarkan pada alasan kemanusiaan yang lebih pada perlindungan pelaku dan korban kejahatan. Selain itu, sering pula dikaitkan dengan pertimbangan moral dan alasan-alasan praktis kaitannya dengan bekerjanya system peradilan agama.
4 Bentuk-Bentuk Penuntutan
Penuntutan suatu perkara dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara ini bergantung pada berat ringannya suatu perkara yang terjadi. Jika suatu perkara itu termasuk perkara biasa yang ancaman pidananya diatas satu tahun, penuntutnya dilakukan dengan cara biasa. Penuntutan dengan cara biasa ditandai dengan adanya berkas perkara yang lengkap dan rumit, yang memuat berbagai berita acara yang telah disusun oleh penyidik. Cirri utama dari penuntutan ini, yakni selalu di sertai dengan surat dakwaan yang disusun secara cermat dan lengkap oleh jaksa penuntut umum dan penuntut umum yang menyerahkan sendiri berkas perkara tersebut yang kehadirannya juga di haruskan di sidang pengadilan.
Selain penututan dengan cara biasa tersebut, penuntutan dapat pula dilakukan dengan cara singkat. Penuntutan ini dilakukan jika perkaranya diancam lebih ringan, yakni tidak lebih dari satu tahun penjara. Berkas perkaranya biasanya tidak rumit. Sekalipun demikian, jaksa penuntut umum tetap membuat dan mengajukan surat dakwaan yang disusun secara sederhana. Penuntutan jenis ini, penuntup umum langsung mengantarkan berkas perkara kepengadilan yang kemudian didaftarkan dalam buku register oleh panitera pengadilan.
Jenis pentutan lainnya adalah penuntutan dengan cara cepat. Penuntutan jenis ini terjadi pada perkara perkara ringan atau perkara lalu lintas yang ancaman pidananya tidak lebih dari 3 bulan. Penuntutan perkara tidak dilakukan oleh jaksa penuntut umum, tetapi di wakili oleh penyidik Pilri. Pada penuntutan ini tidak dibuat surat dakwaan, tetapi hanya berupa catatan tentang kejahatan pelanggaran yang dilakukan. Catatan-catatan tentang kejahatan atau pelanggaran inilah yang diserahkan ke pengadilan sebagai pengganti surat dakwaan.
Selanjutnya pasal 141 KUHAP menentukan bahwa penuntut umum dapat melakukan penuntutan dengan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan jika pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas. Penggabungan perkara ini dapat dilakukan asal memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh pasal 141 itu sendiri, yaitu:
Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang sama dan kepentingan pemerikasaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya.
Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut.
Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut, tetapi antara yang satu dan yang lainnya itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut diperlukan bagi kepentingan pemeriksaan.
Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 141 huruf b KUHAP diatas, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana yang dianggap mempunyai sangkut-paut satu dengan yang lain adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilalukan pada saat bersamaan.
Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang di buat oleh mereka sebelumnya.
Oleh seorang atau lebih dengan meksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menhindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.
Berbeda dengan Pasal 141 yang memungkinkan pengubahan perkara Pasal 142 justru memungkinkan penuntut umum melakukan pemisahan perkara. Pemisahan perkara ini dapat dilakukan dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa tersangga yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141. Penuntut umum dalam hal ini melakukan penuntutan terhadap masing-masing tersangka secara terpisah.[8]
Berkas perkara seperti ini, misalnya, dalam perkara korupsi yang melibatkan orang banyak penjabat, seperti bupati, wali kota, kepala jawatan bendaharawan, pengawas-pengawas dan sebagainya. Dalam perkara korupsi ini, dapat saja terjadi beberapa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berbeda-beda dan dilakukan oleh orang yang berbeda pula. Jika berkas perkara korupsi ini jadi satu, penuntut umum dapat memecah(splitsing) untuk kemudian melakukan penuntutan terhadap terdakwa secara terpisah.
2.3 Peradilan perkara pidana
Pengertian perdilan perkara pidana
Yang diartikan mengadili adalah serangkain tindakan hakim untuk mnerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam ungdang-undang hukum acara pidana, yaitu memeriksa dan dengan bukti-bukti yang cukup. Dalam tahap ini tersangka yang di tuntut, diperiksa dan diadili dinamakan terdakwa.
Sebelum memulai kegiatan tersebut, guna pembelaannya dalam sidang itu terdakwa dapat di bantu oleh seseorang penasihat hukum (pasal 114 KUHAP). Setelah pemeriksaaan dalam sidang oleh hakim dianggap cukup,kemudian oleh jaksa diucapkan requisitoir : kesimpulan dari segala pemeriksaan dalam sidang pengadilan beserta tuntutan hukumannya.terdakwa dan pembelanya dapat memberikan jawaban terhadap requisitoir tadi. Kemudian sekali lagi boleh mengemukakan pendapatnya tetapi kata terakhir ada pada terdakwa dan pembelaannya. Setelah itu pengadilan bermusyawarah, kmeudian menatapkan keputusannya[9].
Keputusan pengadilan dapat berupa ( pasal 191 KUHAP ):
Pembebasan terdakwa apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti.
Pelepasan terdakwa dari segala tuntutan, jika ternyata bahwa kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, akan tetapi ternyata bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu bukan merupakan suatu tindak pidana , termasuk disini juga dalam hal jika ada kekeliruan dalam surat tuduhan pun pelepasan dari segala tuntutan dimuat juga dalam putusan hakim.
Suatu pemindanaan terdakwa jikalau baik kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah ia lakukan, maupun perbuatan itu adalah suatu tindak pidana, menurut hukum dan keyakinan cukup di buktikan.
dapat di tarik kesimpulan bahwa adanya berbagai-bagai badan kehakiman di Negara kita termasuk mahkamah agung. Demikian juga bahwa badan-badan kehakiman itu mempunyai suatu persamaan. Ialah menjalankan kekuasaan kehakiman sebagai tugas pokoknya.
2.4 Pelaksanaan keputusan hakim
A. Pengertian dan jenis putusan hakim
Pada Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 angka 11 KUHAP di tentukan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang di ucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini. Jadi, dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di pengadilan negeri. Sebelum putusan hakim di ucapkan / di jatuhkan maka procedural yang harus di lakukan hakim dalam praktek lazim melalui tahapan sebagai berikut[10] :
– Sidang di nyatakan di buka dan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak
– Terdakwa di panggil masuk kedepan persidangan dalam keadaan bebas kemudian di lanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa, serta terdakwa di ingatkan supaya memperhatikan segala sesuatu yang di dengar serta di lihatnya di persidangan.
– Pembacaan surat dakwaan untuk acara biasa ( pid.B) atau catatan dakwaan untuk acara singkat (Pid.S) oleh jaksa/penuntut umum.
– Selanjutnya terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan dakwaan / catatan dakwaan tersebut, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti lalu penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang di perlukan.
– Keberatan terdakwa atau penasihat hukum terhadap surat dakwaan jaksa/ penuntut umum.
– Dapat di jatuhkan putusan sela/penetapan atas keberatan tersebut hakim berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara maka sidang di lanjutkan.
– Pemeriksaan alat bukti yang dapat berupa :
Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk, dan
Keterangan terdakwa
– Kemudian pernyataan hakim ketua sidang bahwa pemeriksaan di nyatakan “selesai” dan lalu penuntut umum mengajukan tuntutan pidana ( requisitoir).
– Pembelaan (pledooi) terdakwa atau penasihat hukumnya.
– Replik dan duplik, selanjutnya re-replik dan re-duplik
– Pemeriksaan di nyatakan “ditutup” dan hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan.
Putusan hakim ini hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapkan disidang terbuka untuk umum ( pasal 195 KUHAP ) dan harus di tandatangani hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan ( pasal 200 KUHAP ).
B. Sistematika formal putusan hakim menurut KUHAP
Terhadap sistematika formal dari putusan hakim secara limitatif diatur dalam ketentuan pasal 197 dan pasal 199 KUHAP. Apabila di jabarkan lebih lanjut, ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP[11] menyebutkan sistematika formal putusan hakim yang berisikan pemidanaan/veroordeling haruslah memuat aspek-aspek sebagai berikut :
Kepala putusan yang di tuliskan berbunyi :” Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha Esa”.
Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.
Hari dan tanggal diadakan musyawarah majlis hakim kecuali perkara yang di periksa oleh hakim tunggal.
Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemindanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu jika terdapat surat otentik di anggap palsu.
Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau di bebaskan.
Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
C. Bentuk putusan atas di ajukan keberatan oleh terdakwa atau penasihat hukum
Berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa,” dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenag mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus di batalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”[12]. Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dapat di laksanakan, misalnya apabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar supaya terdakwa segera di keluarkan dari tahanan apabila berisi penjatuhan pidana denda, supaya uang denda itu dibayar dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam rumah lembaga pemasyarakatan dan sebagainya. Pelaksanaan keputusan pengadilan yang biasa disebut eksekusi itu adalah tugas dari kejaksaan[13].
D. Upaya hukum terhadap putusan atas keberatan
Yang di maksud dengan upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Adapun maksud dari upaya hukum itu sendiri pada pokonya adalah[14]:
Untuk memperbaiki kesalahan yang di buat oleh instansi yang sebelumnya.
Untuk kesatuan dalam peradilan.
Dengan adanya upaya hukum ini ada jaminan bagi terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam. Sedangkan berdasarkan ketentuan bab 1 angka 12 KUHAP maka upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang dapat berupa perlawanan, banding, kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Adapun maksud dari upaya hukum menurut pandangan doktrina pada pokoknya agar :
Di peroleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan (operasi yustitie)
Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenag-wenang dari hakim.
Memperbaiki kealpaan –kealpaan dalam menjalankan peradilan.
Usaha dari para pihak terdakwa maupun jaksa memberikan keterangan-keterangan baru (novum)[15].
Akan tetapi sesuai konteks dari upaya hukum tersebut disini penulis hanya memfokuskan kepada upaya hukum terhadap putusan atas keberatan (eksepsi) dari peradilan tingkat pertama saja, yaitu :
Perlawanan ( verzet )
Bersama-sama permintaan banding ( revisi )
Tata Cara
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Pasal 215
Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling berhak, segera setelah putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar putusan.
Penjelasan Pasal 215
Sesuai dengan makna yang terkandung dalam acara pemeriksaan cepat, segala sesuatu berjalan dengan cepat dan tuntas, maka benda sitaan dikembalikan kepada yang paling berhak pada saat amar putusan telah dipenuhi.
Pasal 270
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.
Pasal 271
Dalam hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak dimuka umum dan menurut ketentuan undang-undang.
Pasal 272
Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.
Penjelasan Pasal 272
Ketentuan yang dimaksud dalam pasal ini ialah bahwa pidana yang dijatuhkan berturut‑turut itu ditetapkan untuk dijalani oleh terpidana berturut‑turut secara berkesinambungan di antara menjalani pidana yang satu dengan yang lain.
Pasal 273
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
(3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.
(4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
Penjelasan Pasal 273
Ayat (3)
Jangka waktu tiga bulan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memperhatikan hal yang tidak mungkin diatasi pengaturannya dalam waktu singkat.
Ayat (4)
Perpanjangan waktu sebagaimana tersebut pada ayat ini tetap dijaga agar pelaksanaan lelang itu tidak tertunda.
Pasal 274
Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata.
Pasal 275
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-sama secara berimbang.Penjelasan Pasal 275
Karena terdakwa dalam hal yang dimaksud dalam pasal ini bersama‑sama dijatuhi pidana karena dipersalahkan melakukan tindak pidana dalam satu perkara, maka wajar bilamana biaya perkara dan atau ganti kerugian ditanggung bersama secara berimbang.
Pasal 276
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-undang.
Pasal 278
Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengertian hukum acara pidana tersebut, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana keseluruhan ketentuan yang terkait dengan penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur penyelesaian suatu perkara pidana yang meliputi proses pelaporan dan pengaduan hungga penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan hingga lahirnya putusan pengadilan dan pelaksanaan suatu putusan pidana terhadap suatu kasus pidana.
Secara umum penyelidikan atau dengan kata lain sering disebut penelitian adala langkah awal atau upaya awal untuk mengidentifikasi benar dan tidaknya suatu peristiwa pidana itu terjadi[16]. Dalam perkara pidana, penyelidikan atau penelitian itu adala langkah-langkah untuk melakukan penelitian berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan untuk memastikan apakah peristiwa pidana itu benar-benar terjadi atau tidak terjadi.
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 7 KUHAP).[17] Tujuannya adalah untuk mendapat penetapan adari penuntut umum tentang adanya alasan cukup untuk menuntut seorang terdakwa di muka umum.
Pengertian perdilan perkara pidana yang diartikan mengadili adalah serangkain tindakan hakim untuk mnerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam ungdang-undang hukum acara pidana, yaitu memeriksa dan dengan bukti-bukti yang cukup. Dalam tahap ini tersangka yang di tuntut, diperiksa dan diadili dinamakan terdakwa.
Pengertian dan jenis putusan hakim pada Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 angka 11 KUHAP di tentukan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang di ucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini. Jadi, dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di pengadilan negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Salam Faisal moh, 2001, Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktek. Bandung : CV.Mandar Maju
Hartono, 2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika
Kansil, C.S.T. Prof, Drs, 2003, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Hamzah, Andi, 1984, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia
Hamzah, Andi, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta: Ghalia Indonesia
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Konremporer, Bandung: Citra Aditya Bakti
Suharto,2004, Penuntutan Dalam Praktik Peradila , Jakarta: Sinar Grafika
Hadisoeprapto Hartono, 2001, pengantar tata hukum Indonesia , Yogyakarta : P.T Liberty
Mulyadi Lilik, 1996, hukum acara pidana, Bandung : P.T Citra aditya bakti
Prakoso Djoko, 1987, Upaya Hukum yang di atur di dalam KUHAP. cetakan pertama: P.T Aksara Persada Indonesia
[1] Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktek (Bandung : CV.Mandar Maju, 2001) halm 1
[2] Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika,2010) halm 18
[3] Kansil, C.S.T. Prof, Drs., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta :Balai Pustaka,2003) halm 351
[4] Hamzah, Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987)Halm. 100
[5] Kansil, C.S.T. Prof, Drs. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta :Balai Pustaka, 2003) halm 355
[6] Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana ( Jakarta : Ghalia Indonesia,1984) halm 98
[7] Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Konremporer ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007)halm, 75
[8] Suharto, Penuntutan Dalam Praktik Peradila (Jakarta: Sinar Grafika,2004 ) halm 79
[9] Hartono Hadisoeprapto, pengantar tata hukum Indonesia ( Yogyakarta : P.T Liberty , 2001) halm 127-128
[10] Lilik Mulyadi, hukum acara pidana (Bandung : P.T Citra aditya bakti, 1996) halm 123-124
[11] Lilik Mulyadi, putusan hakim dan hukum acara pidana (bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2007), halm 126
[12] Lilik Mulyadi, hukum acara pidana (Bandung : P.T Citra aditya bakti, 1996) halm 141
[13] Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 2001) halm 129
[14] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Bandung : P.T Citra aditya bakti, 1996) halm 223
[15] Djoko prakoso, Upaya Hukum yang di atur di dalam KUHAP (cetakan pertama: P.T Aksara Persada Indonesia, 1987) halm 53
[16] Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika,2010) halm 18
[17] Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Konremporer ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007)halm, 75
sumber : http://hbsuinmaliki2012.wordpress.com/2013/12/28/hukum-acara-pidana/