Penjualan Lelang Benda Sitaan menurut kitab undang undang hukum pidana @hukumonlinepidanaperdata
ini merupakan pokok bahasan lanjutan dari Penyitaan menurut kitab undang undang hukum pidana @hukumonlinepidanaperdata
-peraturan jaksa agung per-002/a/ja/05/2017
-peraturan jaksa agung nomor per-002/a/ja/05/2017 tahun 2017
-pasal 45 kuhap
-perja 002/a/ja/05/2017
-aturan dalam hukum barang bukti mobil
-dasar hukum barang bukti dirampas untuk negara
-pengembalian barang bukti menurut kuhap
-prosedur lelang barang bukti
sebagaimana link dibawah ini, yang kita sebutkan dalam point 8 dibawah ini.
Baiklah kita lanjutkan pembahasan materi penyitaan dengan sub bahasan mengenai Penjualan Lelang Benda sitaan.
Yang dimaksud penjualan lelang disini bukanlah penjualan eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi yang kita maksudkan adalah sebagaimana diuraikan dalam Pasal 45 KUHAP, yakni :
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a. Apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b. Apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang penyidangan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan Negara atau untuk dimusnahkan.
Penjelasan dari pada Pasal 45 ini adalah sebagai berikut:
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan benda yang dapat diamankan antara lain ialah benda yang mudah terbakar, mudah meledak, yang untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus atau benda yang dapat membahayakan kesehatan orang dan lingkungan. Pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor lelang Negara setelah diadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut umum setempat atau hakim yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak.
Ayat (2) dan ayat (3)
Benda untuk pembuktian menurut sifatnya lekas rusak dapat dijual lelang dan uang hasil pelelangan dipakai sebagai ganti untuk diajukan di sidang pengadilan sedangkan sebagian kecil dari benda itu disisihkan untuk dijadikan barang bukti.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “benda yang dirampas untuk Negara” ialah benda yang harus diserahkan kepada departemen yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Benda sitaan yang sifatnya terlarang ialah:
“benda terlarang”, seperti senjata api tanpa izin, bahan peledak, bahan kimia tertentu dan lain-lain.
Benda yang “dilarang untuk diedarkan”, seperti narkotik, buku atau majalah dan film porno, uang palsu, dan lain-lain.
Setiap bendan yang termasuk kategori benda yang sifatnya “dilarang”, merupakan benda yang telah ditentukan cara penyelesaiannya oleh pembuat undang-undang. Penyelesaian terhadap benda terlarang dan yang dilarang diedarkan, hanya dapat diselesaikan dengan dua cara saja:
1. Benda tersebut “dirampas” untuk dipergunakan bagi kepentingan Negara.
Yang dimaksud dengan “benda yang dirampas untuk Negara” ialah sesuai penjelasan Pasal 45 ayat 4 Kitab Undang –Undang Hukum Acara Pidana diatas.
2. Alternatif kedua, atas benda terlarang atau benda yang dilarang diedarkan untuk dimusnahkan.
(M.Yahya Harahap, dalam Bukunya Pembahasan, Permasalahan dan penerapan KUHAP, halaman 288-289).
Ada beberapa pertanyaan yang terkait dengan penjualan barang Lelang ini yakni :
1. Apa memang boleh menjual atau melelang benda sitaan dalam keadaan perkaranya belum diputus oleh pengadilan?
2. Apakah boleh menjual benda sitaan sebelum perkaranya mempunyai keputusan yang berkekuatan hukum tetap?
3. Bukankah tindakan atau wewenang penjualan seperti ini bertentangan dengan prinsip hukum?
Sebab dengan pelelangan barang benda sitaan pada saat proses pemeriksaan masih sedang berjalan, berarti secara tidak langsung penjualan pelelangan menjatuhkan vonic bersalah terhadap tersangka atau terdakwa. Tindakan serupa ini oleh Abdurrahman, S.H. dianggapnya bertentangan dengan prinsip presumption of innocent, karena memvonis barang tersebut ada hubungannya dengan kejahatan, padahal kesalahannya belum terbukti. (M.Yahya Harahap, dalam Bukunya Pembahasan, Permasalahan dan penerapan KUHAP, halaman 285-286).
Hal tersebut diatas mungkin ada benarnya jika hanya bertitik tolak dari sudut penjualan itu semata-mata! Akan tetapi kalau ditinjau secara integral dihubungkan dengan landasan alasan penjualan lelang serta dikaitkan dengan motivasi dan tujuan kepentingan keselamatan benda tersebut serta memperhitungkan risiko kerugian yang akan diderita, pendapat itu kurang argumentative. Oleh karena itu, bertitik tolak dari cara berpikir yang komprehensif, penjualan lelang benda sitaan, tidak bertentangan dengan prinsip presumption of innocent. Lagipula, bukankah prinsip itu harus sejalan dengan prinsip hukum yang lain, Yakni prinsip hukum extra ordinary atau overmacht yang menjadi landasan yang “memaafkan” suatu tindakan di luar kebiasaan.
Jadi, jika pejabat yang bersangkutan menghadapi “kesulitan yang luar biasa” atau berada dalam keadaan difficultas menyelamatkan dan menjaga keutuhan benda atau benda yang disita merupakan bahan kimia yang mudah meledak sedang tempat penyimpanan yang serasi untuk itu tidak ada; pejabat yang bersangkutan dihadapkan pada suatu keadaan yang exrra ordinary.
Dalam ruang lingkup keadaan yang seperti ini Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberi kemungkinan bagi pejabat yang bersangkutan menjual benda sitaan, dengan syarat dan tata cara seperti disebut dibawah ini :
1. Syarat penjualan lelang yang perkaranya sedang Diperiksa
Sesuai dengan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan penjelasan pasal tersebut. Menyatakan bahwa, sekalipun perkaranya masih dalam tahap proses pemeriksaan, benda sitaan dapat dijual lelang, asal dipenuhi syarat-syarat:
• Apabila benda sitaan terdiri dari benda yang “mudah rusak” atau busuk (perishable Goods).
• Apabila benda sitaan tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap.
• Jika biaya penyimpanan benda sitaan akan menjadi terlaku tinggi.
Itulah beberapa syarat yang bersifat “alternatif” bagi penjabat hukum yang bersangkutan, yang memberi kemungkinan kepada mereka untuk menjual lelang benda sitaan.
Dalam penjelasan Pasal 45 ayat 1 Alinea 2 menegaskan : lembaga ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak. Adapun maksud melibatkan lembaga ahli dalam proses penjualan pelelangan, untuk menghindarkan pejabat dari tuduhan negatif dan pendapat para ahli ini juga akan menghindari terjadinya penilaian secara subjektif sehingga penilaian itu mendekati kenyataan objektif berdasarkan rekomendasi dari seorang ahli tersebut. (M.Yahya Harahap, dalam Bukunya Pembahasan, Permasalahan dan penerapan KUHAP, halaman 286).
2. Tata cara penjualan Lelang
a. “Sedapat mungkin” mendapat Persetujuan dari Tersangka atau kuasanya.
b. Pejabat yang Dapat melakukan Penjualan Lelang, Dilihat dari Taraf Proses Pemeriksaan
• Apabila taraf pemeriksaan perkara masih di tangan penyidik, yang dapat menjual lelang atau mengamankan benda sitaan ialah penyidik.
• Apabila taraf pemeriksaan berada di tangan penuntut umum, yang dapat menjual lelang atau mengamankan benda sitaan ialah penuntut umum.
• Apabila perkara sudah dalam taraf pemeriksaan peradilan, penjualan atau pengamanan benda sitaan dilakukan oleh “penuntut umum” atas “izin hakim”:
Izin Hakim Pengadilan Negeri, jika pemeriksaan perkara dalam tingkat pemeriksaan pengadilan Negeri,
Izin Hakim Pengadilan Tinggi, jika perkaranya sudah dilimpahkan atau diperiksa dalam tingkat banding.
Izin Hakim Agung, jika perkaranya sudah dilimpahkan kepada Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.
c. Pelaksanaan Lelang Dilakukan oleh “kantor Lelang Negara”
Dalam pelaksanaan lebih dulu kantor lelang mengadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut umum setempat atau dengan hakim yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak,
d. Uang hasil Lelang “disimpan” dalam Rupbasan
3. Harus disaksikan oleh tersangka atau kuasanya.
4. Hasil penjualan lelang benda sitaan dipakai sebagai barang bukti
5. Pelaksanaan lelang disaksikan petugas Rupbasan
Sesuai dengan Bunyi Pasal 46, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni berbunyi:
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana.
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk Negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Penjelasan Pasal 46 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berbunyi sebagai berikut:
Benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih diperlukan atau tidak.
Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat, benda yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang berkepentingan atau pemiliknya.
Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mungkin diperhatikan segi kemanusian, dengan mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber kehidupan.
Secara yuridis, tanggung jawab atas benda sitaan berada di tangan pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara.
Secara fisik, tanggung jawab atas benda sitaan berada di tangan Kepala Rupbasan.
-peraturan jaksa agung per-002/a/ja/05/2017
-peraturan jaksa agung nomor per-002/a/ja/05/2017 tahun 2017
-pasal 45 kuhap
-perja 002/a/ja/05/2017
-aturan dalam hukum barang bukti mobil
-dasar hukum barang bukti dirampas untuk negara
-pengembalian barang bukti menurut kuhap
-prosedur lelang barang bukti
sebagaimana link dibawah ini, yang kita sebutkan dalam point 8 dibawah ini.
8. Penjualan Lelang Benda Sitaan
Sebelum kita membahas materi ini, untuk lebih memahami tentang materi penyitaan secara lengkap dapat mampir di link ini dan link ini :Baiklah kita lanjutkan pembahasan materi penyitaan dengan sub bahasan mengenai Penjualan Lelang Benda sitaan.
Yang dimaksud penjualan lelang disini bukanlah penjualan eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi yang kita maksudkan adalah sebagaimana diuraikan dalam Pasal 45 KUHAP, yakni :
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a. Apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b. Apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang penyidangan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan Negara atau untuk dimusnahkan.
Penjelasan dari pada Pasal 45 ini adalah sebagai berikut:
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan benda yang dapat diamankan antara lain ialah benda yang mudah terbakar, mudah meledak, yang untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus atau benda yang dapat membahayakan kesehatan orang dan lingkungan. Pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor lelang Negara setelah diadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut umum setempat atau hakim yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak.
Ayat (2) dan ayat (3)
Benda untuk pembuktian menurut sifatnya lekas rusak dapat dijual lelang dan uang hasil pelelangan dipakai sebagai ganti untuk diajukan di sidang pengadilan sedangkan sebagian kecil dari benda itu disisihkan untuk dijadikan barang bukti.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “benda yang dirampas untuk Negara” ialah benda yang harus diserahkan kepada departemen yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Benda sitaan yang sifatnya terlarang ialah:
“benda terlarang”, seperti senjata api tanpa izin, bahan peledak, bahan kimia tertentu dan lain-lain.
Benda yang “dilarang untuk diedarkan”, seperti narkotik, buku atau majalah dan film porno, uang palsu, dan lain-lain.
Setiap bendan yang termasuk kategori benda yang sifatnya “dilarang”, merupakan benda yang telah ditentukan cara penyelesaiannya oleh pembuat undang-undang. Penyelesaian terhadap benda terlarang dan yang dilarang diedarkan, hanya dapat diselesaikan dengan dua cara saja:
1. Benda tersebut “dirampas” untuk dipergunakan bagi kepentingan Negara.
Yang dimaksud dengan “benda yang dirampas untuk Negara” ialah sesuai penjelasan Pasal 45 ayat 4 Kitab Undang –Undang Hukum Acara Pidana diatas.
2. Alternatif kedua, atas benda terlarang atau benda yang dilarang diedarkan untuk dimusnahkan.
(M.Yahya Harahap, dalam Bukunya Pembahasan, Permasalahan dan penerapan KUHAP, halaman 288-289).
Ada beberapa pertanyaan yang terkait dengan penjualan barang Lelang ini yakni :
1. Apa memang boleh menjual atau melelang benda sitaan dalam keadaan perkaranya belum diputus oleh pengadilan?
2. Apakah boleh menjual benda sitaan sebelum perkaranya mempunyai keputusan yang berkekuatan hukum tetap?
3. Bukankah tindakan atau wewenang penjualan seperti ini bertentangan dengan prinsip hukum?
Sebab dengan pelelangan barang benda sitaan pada saat proses pemeriksaan masih sedang berjalan, berarti secara tidak langsung penjualan pelelangan menjatuhkan vonic bersalah terhadap tersangka atau terdakwa. Tindakan serupa ini oleh Abdurrahman, S.H. dianggapnya bertentangan dengan prinsip presumption of innocent, karena memvonis barang tersebut ada hubungannya dengan kejahatan, padahal kesalahannya belum terbukti. (M.Yahya Harahap, dalam Bukunya Pembahasan, Permasalahan dan penerapan KUHAP, halaman 285-286).
Hal tersebut diatas mungkin ada benarnya jika hanya bertitik tolak dari sudut penjualan itu semata-mata! Akan tetapi kalau ditinjau secara integral dihubungkan dengan landasan alasan penjualan lelang serta dikaitkan dengan motivasi dan tujuan kepentingan keselamatan benda tersebut serta memperhitungkan risiko kerugian yang akan diderita, pendapat itu kurang argumentative. Oleh karena itu, bertitik tolak dari cara berpikir yang komprehensif, penjualan lelang benda sitaan, tidak bertentangan dengan prinsip presumption of innocent. Lagipula, bukankah prinsip itu harus sejalan dengan prinsip hukum yang lain, Yakni prinsip hukum extra ordinary atau overmacht yang menjadi landasan yang “memaafkan” suatu tindakan di luar kebiasaan.
Jadi, jika pejabat yang bersangkutan menghadapi “kesulitan yang luar biasa” atau berada dalam keadaan difficultas menyelamatkan dan menjaga keutuhan benda atau benda yang disita merupakan bahan kimia yang mudah meledak sedang tempat penyimpanan yang serasi untuk itu tidak ada; pejabat yang bersangkutan dihadapkan pada suatu keadaan yang exrra ordinary.
Dalam ruang lingkup keadaan yang seperti ini Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberi kemungkinan bagi pejabat yang bersangkutan menjual benda sitaan, dengan syarat dan tata cara seperti disebut dibawah ini :
1. Syarat penjualan lelang yang perkaranya sedang Diperiksa
Sesuai dengan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan penjelasan pasal tersebut. Menyatakan bahwa, sekalipun perkaranya masih dalam tahap proses pemeriksaan, benda sitaan dapat dijual lelang, asal dipenuhi syarat-syarat:
• Apabila benda sitaan terdiri dari benda yang “mudah rusak” atau busuk (perishable Goods).
• Apabila benda sitaan tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap.
• Jika biaya penyimpanan benda sitaan akan menjadi terlaku tinggi.
Itulah beberapa syarat yang bersifat “alternatif” bagi penjabat hukum yang bersangkutan, yang memberi kemungkinan kepada mereka untuk menjual lelang benda sitaan.
Dalam penjelasan Pasal 45 ayat 1 Alinea 2 menegaskan : lembaga ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak. Adapun maksud melibatkan lembaga ahli dalam proses penjualan pelelangan, untuk menghindarkan pejabat dari tuduhan negatif dan pendapat para ahli ini juga akan menghindari terjadinya penilaian secara subjektif sehingga penilaian itu mendekati kenyataan objektif berdasarkan rekomendasi dari seorang ahli tersebut. (M.Yahya Harahap, dalam Bukunya Pembahasan, Permasalahan dan penerapan KUHAP, halaman 286).
2. Tata cara penjualan Lelang
a. “Sedapat mungkin” mendapat Persetujuan dari Tersangka atau kuasanya.
b. Pejabat yang Dapat melakukan Penjualan Lelang, Dilihat dari Taraf Proses Pemeriksaan
• Apabila taraf pemeriksaan perkara masih di tangan penyidik, yang dapat menjual lelang atau mengamankan benda sitaan ialah penyidik.
• Apabila taraf pemeriksaan berada di tangan penuntut umum, yang dapat menjual lelang atau mengamankan benda sitaan ialah penuntut umum.
• Apabila perkara sudah dalam taraf pemeriksaan peradilan, penjualan atau pengamanan benda sitaan dilakukan oleh “penuntut umum” atas “izin hakim”:
Izin Hakim Pengadilan Negeri, jika pemeriksaan perkara dalam tingkat pemeriksaan pengadilan Negeri,
Izin Hakim Pengadilan Tinggi, jika perkaranya sudah dilimpahkan atau diperiksa dalam tingkat banding.
Izin Hakim Agung, jika perkaranya sudah dilimpahkan kepada Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.
c. Pelaksanaan Lelang Dilakukan oleh “kantor Lelang Negara”
Dalam pelaksanaan lebih dulu kantor lelang mengadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut umum setempat atau dengan hakim yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak,
d. Uang hasil Lelang “disimpan” dalam Rupbasan
3. Harus disaksikan oleh tersangka atau kuasanya.
4. Hasil penjualan lelang benda sitaan dipakai sebagai barang bukti
5. Pelaksanaan lelang disaksikan petugas Rupbasan
9. Pengembalian Benda Sitaan
Selain benda sitaan yang sifatnya terlarang atau dilarang mengedarkan, pada prinsipnya benda sitaan harus dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita atau kepada mereka “yang paling berhak”. Inilah prinsip hukum atas pengembalin benda sitaan yang dijadikan barang bukti pada setiap tingkat pemeriksaan, harus dikembalikan kepada mereka yang paling berhak.Sesuai dengan Bunyi Pasal 46, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni berbunyi:
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana.
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk Negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Penjelasan Pasal 46 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berbunyi sebagai berikut:
Benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih diperlukan atau tidak.
Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat, benda yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang berkepentingan atau pemiliknya.
Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mungkin diperhatikan segi kemanusian, dengan mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber kehidupan.
10. Penyitaan di Luar Daerah Penyidik
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak menyebutkan Pasal yang mengatur Penyitaan di Luar Daerah Penyidik. Namun untuk menutup kekosongan peraturan ini mari kita mengacu pada Pasal 36 Jo Pasal 33 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai ketentuan penggeledahan di luar wilayah hukum penyidik. Lengkapnya klik disini atau klik disini.11. Peralihan Tanggungjawab Yuridis Benda Sitaan
Berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 30 ayat (1) dan (2) serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 27 Tahun 1983, tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan ketentuan ini, tanggung jawab atas benda sitaan dipisah antara tanggung jawab “secara yuridis” dan “secara fisik” : Secara yuridis, tanggung jawab atas benda sitaan berada di tangan pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara.
Secara fisik, tanggung jawab atas benda sitaan berada di tangan Kepala Rupbasan.