TAHAP-TAHAP DALAM HUKUM ACARA PIDANA BAB PENYITAAN menurut kitab undang undang hukum pidana @hukumonlinepidanaperdata

TAHAP-TAHAP DALAM HUKUM ACARA PIDANA Tentang BAB PENYITAAN menurut kitab undang undang hukum pidana @hukumonlinepidanaperdata, di uraikan oleh Pengacara Yuni Amd SH @ Sepaku Balikpapan
-pengertian hukum acara pidana pdf
-tujuan hukum acara pidana
-materi hukum acara pidana lengkap pdf
-sumber hukum acara pidana
-dasar hukum acara pidana
-makalah hukum acara pidana
-asas hukum acara pidana

-sejarah hukum acara pidana

PENYITAAN


1. Pengertian

Menurut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam Pasal 1 butir ke-16 memberikan pengertian penyitaan adalah:
“Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan penuntutan dan peradilan.
.

tahap hukum acara pidana bab tentang penyitaan

2. Dasar Hukum

Sebagaimana dalam hal penggeledahan , pengaturan tentang Penyitaan di KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) terpisah di dua tempat, yakni:
a) Bab V, Bagian Keempat, mulai Pasal 38 sampai dengan Pasal 46
b) Bab XIV, Bagian Kedua, yang dijumpai pada Pasal 128 sampai dengan Pasal 130.

3. Tujuan penyitaan

Sebagai terlihat dari pengertian Penyitaan tersebut diatas, yakni untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan penuntutan dan peradilan.


4. Yang berwenang

Menurut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam Pasal 38 ayat 1 menyatakan bahwa :
“Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan negeri setempat.”

Dilanjutkan dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam Pasal 38 ayat  menyatakan bahwa jika dalam keadaan mendesak, maka kewenangan penyidik melakukan penyitaan adalah sebagai berikut:
“Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.”

5. Bentuk dan Tata Cara Penyitaan

Berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ada dua bentuk penyitaan dilihat dari keadaan yang ada dilapangan dan ketentuan yang mengatur penyitaan. Adapun Bentuk dan tata cara penyitaan adalah sebagai berikut:

1) Penyitaan Biasa dan Tata caranya

a) Harus ada “Surat Izin” penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri ( Sesuai Pasal 38 KUHAP ayat (1)).
b) Memperlihatkan atau menunjukkan Tanda Pengenal.
Sesuai dengan ketentuan yang yang mengatur tentang penyitaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 128 KUHAP, yaitu:
“Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita”.

Hal ini ditujukan agar ada kepastian bagi orang yang bersangkutan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik.


c) Memperlihatkan Benda yang Akan disita 
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 129 KUHAP ayat (1) yang berbunyi :
“Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi”.

d) Penyitaan dan memperlihatkan Benda Sitaan Harus disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan 2 (dua) orang sak
Siapa yang dijadikan saksi, pembuat Undang-Undang telah memberikan penjelasan dalam Penjelasan Pasal 33 ayat (4) terkait dengan penggeledahan karena dalam  Pasal 129 ayat (1) KUHAP tidak menegaskan. Oleh karenanya kita mengacu pada penjelasan Pasal yang mengatur tentang pengeledahan yakni Pasal 33 ayat (4) KUHAP, yakni :
“Yang dimaksud dengan ‘dua orang saksi” adalah warga dari lingkungan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “ketua lingkungan” adalah ketua atau wakil ketua rukun kampung, ketua atau wakil ketua rukun tetangga, ketua atau wakil ketua rukun warga, ketua atau wakil ketua lembaga yang sederajat.”

e) Membuat Berita Acara penyitaan
Pembuatan Berita Acara penyitaan ini sesuai dengan perintah Undang-Undang dalam KUHAP pasal 129 ayat (2)-(3), yang menyatakan bahwa:
“Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberit tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.” (Pasal 129 ayat (2).

“Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.”


f) Menyampaikan Turunan Berita Acara Penyitaan
Hal ini sesuai dengan Pasal 129 ayat 4, yang berbunyi:
“Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.

Dari perintah Undang-Undang diatas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa ada pengawasan dan pengendalian pada waktu penyidik melaksanakan wewenang melakukan penyitaan,yakni :
Pengawasan dan pengendalian secara internal organisasi yakni menyampaikan turunan berita acara kepada Atasan.
Pengawasan dan pengendalian secara eksternal yakni menyampaikan turunan berita acara kepada orang darimana barang itu disita atau keluarganya dan kepala desa.

g) Membungkus Benda sitaan
Adalah satu hal yang Patut dan wajar untuk menjaga dan memelihara barang sitaan dengan cermat dan baik, sebagaimana layaknya barang sendiri. Undang-Undang telah menentukan cara-cara pembungkusan benda barang sitaan.
Karena sangat disayangkan jika barang sitaan ini rusak karena faktor penyimpanannya sehingga menurunkan nilai ekonomis dan fungsi barang tersebut. Oleh sebab itu adalah satu hal yang wajar jika Undang-Undang mengatur penyimpanan barang sitaan  sebagaimana dituangkan dalam Pasal 130 KUHAP, yakni:
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, cirri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik.
(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.

2) Penyitaan dalam Keadaan mendesak dan tata caranya.

Dalam keadaan dimana penyidik harus bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan, dimana tidak mungkin melakukan penyitaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1), guna menghindari hambatan dan kemacetan dalam pencarian dan penemuan barang bukti, maka pembuat Undang-Undang memberikan kelonggaran sebagaimana diuraikan dalam Pasal 38 ayat (2), yang berbunyi :
“ Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.”

Mengenai keadaan mendesak telah dijelaskan dalam bagian penggeledahan sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1), walaupun pasal ini menjelaskan tentang Penggeledahan namun kita dapat simpulkan sebagai berikut  sebagaimana disampaikan oleh M.Yahya Harahap, SH dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, halaman 265, dinyatakan bahwa :
“Keadaan yang sangat perlu dan mendesak ialah bilamana di suatu tempat di duga keras terdapat benda atau barang bukti yang perlu segera dilakukan penyitaan, atas alasan patut dikhawatirkan bahwa benda itu akan segera dilarikan atau dimusnahkan ataupun dipindahkan oleh tersangka”.
Kenapa dalam keadaan mendesak tentang objek yang akan disita, hal ini karena hanya barang bergerak saja yang mudah untuk dipindah tangankan, dan dimusnahkan.

3) Penyitaan dalam keadaan Tertangkap tangan 

Penyitaan benda dalam keadaan Tertangkap tangan, diatur dalam Pasal 40 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga  telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti”.

Ketentuan Pasal 40 ini sesuai dengan prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, dan biaya ringan. Dalam keadaan tertangkap tangan, wewenang penyitaan yang diberikan kepada penyidik sangat luas. Sebagaimana disampaikan dalam Pasal 41 KUHAP, yang berbunyi:
“Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atu surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal dan padanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan harus diberikan surat tanda penerimaan.”

6. Benda Yang Dapat Disita


KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam Pasal 39 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa:
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
Dilihat dari uraian pasal 39 diatas dan dihubungkan dengan pengertian penyitaan dalam Pasal 1 butir 16, telah digariskan “prinsip hukum” dalam penyitaan benda, yang memberikan batasan tentang benda yang dapat diletakkan penyitaan, yakni:
“Bahwa benda-benda tersebut hanya benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana”.
Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya “pembahasan dan permasalahan Penerapan KUHAP, bab Penyitaan dalam halaman 271, disampaikan bahwa:
“Jika suatu benda tidak ada kaitan atau keterlibatan dengan tindak pidana, terhadap benda-benda tersebut tidak dapat diletakan sita. Oleh karena itu, penyitaan benda yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dianggap merupakan penyitaan yang “bertentangan dengan hukum”, dan dengan sendirinya penyitaan “tidak sah”. Konsekuensinya, orang yang bersangkutan dapat meminta tuntutan ganti rugi baik kepada Praperadilan apabila masih dalam tingkat penyidikan dan kepada Pengadilan Negeri apabila perkaranya sudah diperiksa di Pengadilan”.

Sebagaimana telah diuraikan dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam Pasal 39 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa sering dalam kenyataan penyidik dan Ketua Pengadilan Negeri  dihadapkan dengan masalah penyitaan yang berbenturan dengan perkara pidana disatu sisi dan perkara perdata serta Peradilan Niaga yang berfungsi menyelesaikan perkara pailit (bankruptcy)disisi yang lain, karenanya perlu ditingkatkan sikap yang lebih hati-hati dari Ketua Pengadilan Negeri dalam hal memberi izin penyitaan untuk hal ini karena penyitaan yang dilakukan penyidik terhadap budel pailit, bisa mengurangi efektivitas penyelesaian perkara pailit. (M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya “pembahasan dan permasalahan Penerapan KUHAP, bab Penyitaan dalam halaman 271)

Dari Sumber yang sama di Halaman 272, memberikan penjelasan dan pedoman dalam penerapan penyitaan, yang dirangkum penulis  yakni sebagai berikut:
i. Hati-hati menyikapi penyitaan dalam Perkara Pidana atas Benda yang disita dalam perkara Perdata.
ii. Prinsip penyitaan
Penyitaan merupakan upaya paksa yang berisi:
Satu sisi merupakan “perampasan” harta kekayaan seseorang (tersangka atau terdakwa), sebelum putusan perkara memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga pada dasarnya tindakan penyitaan, mengandung:
Penghinaan dan perkosaan, serta
Bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia,
Namun pada sisi yang lain, dalam hal tertentu demi untuk kepentingan umum dalam rangka menyelesaikan perkara pidana, secara eksepsional undang-undang membenarkan penyitaan.
Dalam rangka menegakkan prinsip diatas, dituntut penyitaan yang hati-hati dan bertanggungjawab.

iii. Penyitaan dapat dilakukan dalam setiap tingkat proses pemeriksaan
Hal ini berpedoman kepada Pasal 39 ayat (2) KUHAP yang menegaskan penyitaan untuk kepentingan:
Penyidikan,
Penuntutan, dan
Pemeriksaan sidang pengadilan.

iv. Barang yang disita dalam Proses Perdata
Menurut Pasal 39 ayat (2) KUHAP, penyitaan dalam proses perkara pidana menjangkau:
1) Penyitaan barang yang telah di consevatoir Beslag (disita) dalam sitaan perkara perdata;
2) Penyitaan barang yang berada dalam “sita pailit” atau budel pailit.
Agar penyitaan dalam konteks yang seperti itu betul-betul objektif, pengadilan harus benar-benar mempertimbakan faktor “relevansi” dan “urgensi” yang digariskan pasal 39 secara utuh.
Segi Relevansi, menunjuk kepada persyaratan barang yang boleh disita menurut Pasal 39 ayat 1 KUHAP, hanya terbatas:
a) Benda atau tagihan tersangka/terdakwa (seluruh atau sebagian), “diduga”
Diperoleh dari tindak pidana, atau
Sebagai hasil dari tindak pidana.
b) Benda yang “digunakan” baik secara langsung:
Melakukan tindak pidana, atau
Mempersiapkan tindak pidana.
c) Benda yang digunakan “menghalangi”penyidikan
d) Benda yang “khusus dibuat” atau “diperuntukan” melakukan tindak pidana,
e) Benda laian yang mempunyai “hubungan langsung” dengan tindak pidana yang dilakukan.
Segi Urgensi, telah ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (2) KUHAP: penyitaan untuk “kepentingan” pemeriksaan.
Contoh kejadian yang mungkin saja terjadi adalah barang debitur telah disita eksekusi untuk dijual lelang berdasarkan Akta Hak Tanggungan, dengan suatu rekayasa debitur membuat laporan ke polisi, dan berbarengan dengan itu penyidik minta izin penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Apabila tidak hati-hati dan seksama mempertimbangkan secara objektif faktor relevansi dan urgensi, eksekusi akan gagal untuk jangka waktu yang tidak pasti.

7. Penyimpanan Benda Sitaan
8. Penjualan Lelang Benda Sitaan
9. Pengembalian Benda Sitaan
10. Penyitaan Di Luar Daerah Penyidik
11. Peralihan Tanggung Jawab yuridis Benda Sitaan

Untuk Point 7 sampai dengan point 11 nanti akan kita sambung lagi ya, di tulisan selanjutnya semoga penulis diberi kesehatan dan kemudahan menyelesaikan.

Bersambung ya……

Next di materi Penyitaan kita akan bahas hal dibawah ini ya.
Penyimpanan Benda Sitaan
Penjualan Lelang Benda Sitaan
Pengembalian Benda Sitaan
Penyitaan Di Luar Daerah Penyidik
Peralihan Tanggung Jawab yuridis Benda Sitaan