TAHAP TAHAP HUKUM ACARA PIDANA Bab PENYITAAN BAG2 menurut kitab undang undang hukum pidana @hukumonlinepidanaperdata

Tulisan ini merupakan lanjutan artikel Pengacara Yuni Amd SH dari tahap-tahap dalam hukum acara pidana bagian penyitaan menurut kitab undang undang hukum pidana @hukumonlinepidanaperdata
-pengertian hukum acara pidana pdf
-tujuan hukum acara pidana
-materi hukum acara pidana lengkap pdf
-sumber hukum acara pidana
-dasar hukum acara pidana
-makalah hukum acara pidana
-asas hukum acara pidana

-sejarah hukum acara pidana

PENYITAAN BAGIAN II


Pada bab ini kita akan membahas mengenai sambungan mengenai  PENYITAAN  yang sebelumnya telah kita bahas di PENYITAAN, untuk bahasan sebelumnya secara detail silahkan klik disini.

TAHAP HUKUM ACARA PIDANA Bab PENYITAAN

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai penyitaan, penulis salah satu pengacara dibalikpapan akan menambahkan beberapa point mengenai  pokok bahasan point 5 di Penyitaan, yakni
BENTUK DAN TATA CARA PENYITAAN bagian ke 2

5.1 Penyitaan Biasa sudah dibahas klik disini
5.2 Penyitaan dalam Keadaan perlu dan Mendesak sudah dibahas klik disini
5.3 Penyitaan dalam Keadaan Tertangkap Tangan sudah dibahas klik disini

5.4 Penyitaan Tidak Langsung

Tertangkap tangan dikenal  dengan Penyitaan “langsung” oleh penyidik terhadap benda dan alat serta benda-benda pos atau paket melalui jawatan meupun perusahaan pengangkutan.

KUHAP pasal 42 memperkenalkan bentuk dan tata cara penyitaan “tidak langsung”, yakni:
(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(2) Surat atau tulisan hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyannya atau diperuntukkan bagainya atau jikau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.

Pengertian tidak langsungnya adalah penyidik tidak langsung mengambil sendiri barang yang menjadi objek penyitaan tapi yang menguasai benda yang dapat disita  memberikan kepada penyidik.

Namun bagaimana jika orang yang bersangkutan tidak mau mematuhi perintah penyidik tersebut, tidak mau menyerahkan benda dimaksud????

a) Dari sudut hukum materiil
Penyidik dapat memeriksa orang yang bersangkutan atas pelanggaran tindak pidana Pasal 216 KUHP, yakni :
“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu atau yang tugasnya maupun diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa perbuatan pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi  atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denga paling banyak Sembilan ribu rupiah”. (Pasal 216 KUHP ayat 1)

“Disamakan dengan pejabat tersebut diatas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum. (pasal 216 KUHP ayat 2).

“Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semcam itu juga maka pidananya dapat ditambah sepertiganya.” (pasal 216 KUHP ayat 3).

b) Dari segi hukum Formal
Sesuai dengan  apa yang digariskan KUHAP, penyidik harus menempuh tata cara penyitaan bentuk biasa. Penyidik minta surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan penyitaan dengan cara paksa.

5.5 Penyitaan Surat  atau Tulisan lain

Dalam Pasal 42 ayat (2) diataas telah disampaikan mengaentai penyitaan surat dan benda pos atau benda telekomunikasi dalam keadaan tertangkap tangan, yang memberikan wewenang kepada Penyidik tidak langsung menyita surat atau benda pos dimaksud.

Maka Pasal 43, diatur pula bentuk dan cara penyitaan surat-surat lain diluar surat-surat yang disebut pada Pasal 41 dan Pasal 42 ayat (2). Sebagaimana bunyi daripada Pasal 43, sebagai berikut:
“Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia Negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.”

Terkait dengan penyitaan Minuta Akta Notaris berpedoman Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007, tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, disebutkan dalam BAB II syarat dan Tata Cara Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang diletatkan pada Minuat Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris

Pasal 2
(1) Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat mengambil fotokopi Minuta Akta dan/ atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud disampaikan kepada Notaris pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada Notaris.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/ atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris.

Pasal 3

Majelis Pengawas Daerah memberikan persetujuan untuk pengambilan fotokopi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), apabila:
a. ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/ atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; atau
b. belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

Pasal 4

Persetujuan Majelis Pengawas Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diberikan setelah mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan.

Pasal 5

Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk pengambilan fotokopi sebagaimana dimaksud dalamPasal 2 ayat (1) apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Pasal 6

(1) Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui.

Pasal 7

Notaris memberikan fotokopi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim, disertai berita acara serah terima yang ditandatangani oleh Notaris dan Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim.


BAB III
SYARAT DAN TATA CARA PENGAMBILAN MINUTA AKTA DAN/ ATAU
SURAT-SURAT YANG DILEKATKAN PADA MINUTA AKTA ATAU
PROTOKOL NOTARIS DALAM PENYIMPANAN NOTARIS

Pasal 8

(1) Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat mengambil Minuta Akta danj atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, dengan meminta kepada Notaris yang bersangkutan untuk membawa Minuta Akta danj atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada Notaris.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pengambilan Minuta Akta danj atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris.

Pasal 9

Majelis Pengawas Daerah memberikan persetujuan untuk pengambilan Minuta Akta dan/ atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) apabila:
a. ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
b. belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana;
c. ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak;
d. ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta; atau
e. ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum).

Pasal 10

Persetujuan Majelis Pengawas Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan setelah mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan.

Pasal 11

Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan persetujuan untuk pengambilan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasa! 8 ayat (1), apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Pasal 12

(1) Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 8.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, maka Majelis pengawas Daerah dianggap menyetujui.

Pasal 13

(1) Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim, setelah mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah, meminta Notaris untuk membawa Minuta Akta yang dibuatnya dan/ atau Minuta Akta Notaris lain yang berada dalam penyimpanan protokolnya, untuk diperiksa di Pusat Laboratorium Forensik mengenai keabsahan tanda tangan dan/ atau cap jempol yang tertera pada Minuta Akta pada hari yang ditentukan.
(2) Dalam hal pemeriksaan Minuta Akta yang dibuatnya dan/ atau Minuta Akta Notaris lain yang berada dalam penyimpanan protokolnya tidak dapat diselesaikan pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Notaris membawa kembali Minuta Akta yang dibuatnya dan/atau Minuta Akta Notaris lain yang berada dalam penyimpanan protokolnya untuk diperiksa ulang pada hari yang akan ditentukan.
(3) Dalam hal pemeriksaan Minuta Akta yang dibuatnya dan/ atau Minuta Akta Notaris lain yang berada dalam penyimpanan protokolnya telah selesai dilaksanakan maka Minuta Akta yang dibuatnya dan/atau Minuta Akta Notaris lain yang berada dalam penyimpanan protokolnya diserahkan kembali kepada Notaris.

BAB IV
SYARAT DAN TATA CARA PEMANGGILAN NOTARIS

Pasal 14

(1) Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada Notaris.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa.

Pasal 15

Majelis Pengawas Daerah memberikan persetujuan pemanggilan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) apabila:
a. ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Akta dan/ atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, atau;
b. belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

Pasal 16

Persetujuan Majelis Pengawas Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan setelah mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan.

Pasal 17

Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

Pasal 18

(1) Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal14.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui.


mari kita membahasa point-point lanjutan mengenai Penyitaan, yakni :

7. Penyimpanan Benda Sitaan

Dalam penulisan sebelumnya pernah penulis singgung sedikit tentang penyimpanan benda sitaan. 

 Berdasarkan perintah Undang-Undang sebagaimana dalam ketentuan KUHAP Pasal 44, benda sitaan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara atau disingkat Rupbasan. Rupbasan adalah satu-satunya tempat penyimpan segala macam jenis benda sitaan.

Adapun detail dari bunyi Pasal 44 KUHAP tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan Negara.
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.

Untuk mengetahui lebih jauh masalah penyimpanan fisik dan tanggung jawab fisik atas benda sitaan diatur dalam :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983, tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Bab IX  Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, lengkapnya klik disini


Pasal 26

(1)Di tiap Ibukota Kabupaten/Kotamadya dibentuk RUPBASAN oleh Menteri.

(2)Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk RUPBASAN di luar tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan cabang RUPBASAN.

(3)Kepala Cabang RUPBASAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Pasal 27

(1)Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim.

(2)Dalam hal benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mungkin dapat disimpan dalam RUPBASAN, maka cara penyimpanaan benda sitaan tersebut diserahkan kepada Kepala RUPBASAN.

(3)Benda sitaan disimpan di tempat RUPBASAN untuk menjamin keselamatan dan keamanannya.

(4)Kepala RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut.

Pasal 28

(1)Penggunaan benda sitaan bagi keperluan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, harus ada surat permintaan dari pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut.

(2)Pengeluaran barang rampasan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan atas permintaan jaksa secara juridis.

(3)Kepala RUPBASAN menyaksikan pemusnahan barang rampasan yang dilakukan oleh jaksa.

Pasal 29

Kepala RUPBASAN setiap triwulan membuat laporan tentang benda sitaan yang disampaikan kepada Menteri dalam hal ini Direktutr Jenderal Pemasyarakatan dengan tembusan kepada pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kepada Kepala Kantor Departemen Kehakiman yang bersangkutan.

Pasal 30
(1)RUPBASAN dikelola oleh Departemen Kehakiman.
(2)Tanggung jawab secara juridis atas bemnda sitaan tersebut, ada pada pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan.

(3)Tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan tersebut ada pada Kepala RUPBASAN.

Pasal 31

(1)RUPBASAN dipimpin oleh Kepala RUPBASAN yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

(2)Dalam melakukan tugasnya Kepala RUPBASAN dibantu oleh Wakil Kepala.

Pasal 32

(1)Disamping tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) Kepala RUPBASAN bertanggung jawab atas administrasi benda sitaan.

(2)Kepala RUPBASAN tiap tahun membuat laporan kepada Menteri mengenai benda sitaan.

(3)Tembusan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 33

Struktur Organisasi, tugas dan wewenang RUPBASAN diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 34

(1)Pejabat dan pegawai RUPBASAN dalam melakukan tugasnya memakai pakaian dinas seragam.

(2)Bentuk dan warna pakaian dinas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta perlengkapannya diatur lebih lanjut oleh Menteri.

(3)Pejabat atau pegawai tertentu RUPBASAN dalam melakukan tugasnya dapat dipersenjatai dengan senjata api laras panjang atau senjata api genggam atas izin Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2014 tentang Tata cara pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara 

Dalam kedua peraturan inilah dijumpai pejabaran pelaksanaan penyimpanan fisik dan tanggung jawab fisik Kepala Rupbasan atas benda sitaan

Next kita akan membahas mengenai 4 point tersebut dibawah ini ya.
Mohon sabar…
Dan mohon doanya semoga penulis diberi kesehatan dan kemudahan dalam menyelesaikan tulisan ini lebih lanjut.

8. Penjualan Lelang Benda Sitaan

9. Pengembalian Benda Sitaan

10. Penyitaan di Luar Daerah Penyidik

11. Peralihan Tanggungjawab Yuridis Benda Sitaan